Thursday, August 30, 2012

Budaya, Membentuk atau Menguburkan Jati Diri?

Pertanyaan yang saat ini belum bisa aku jawab.

Contohnya, dulu, aku adalah anak yang super sensitif. Aku bisa merasakan segala hal, ya, segalanya. Dalam segi positif, aku bisa merasakan semua di alam semesta ini hidup, aku bisa berempati sekalipun dengan kucing jalanan yang sedang kehujanan di luar, seakan-akan aku bisa bicara dengannya. Bahkan, aku tidak tau ini positif atau negatif, tapi aku bisa merasakan kecemburuan dan kesedihan bantalku yang tergeletak di bangku seberang tempat tidur, kepada bantalku yang lain yang sedang aku gunakan. Detik itu juga aku mengambilnya, memeluknya, meminta maaf. Dalam segi negatif, aku akan sangat teramat kesal dan marah, jika sesuatu tidak sesuai dengan sistem seharusnya. Misalnya, perjanjiannya adalah aku mandi duluan daripada kakakku, tetapi dia berubah pikiran dan memilih mandi duluan. Biasanya aku akan sangat menggila, saat2 inilah keluargaku menyebutku dengan sebutan "error". Tapi dengan sikap keluargaku yang menganggapku aneh, dan dengan ayahku yang sangat tidak suka dengan anak yang cengeng, tidak sesuai dengan budaya keluarga ini yang kuat, maka aku menggadaikannya pelan-pelan. Aku beradaptasi. Aku menggadaikannya sampai hampir habis, sampai terlalu cuek dan tidak berperasaan. Tapi toh itu adalah karakterku, dan karakter tidak bisa dibunuh. Serapih apapun aku menyembunyikannya, terkadang itu tetap keluar. Aku hanya bisa menguburnya.

Seperti halnya anak laki-laki yang pantang menangis walaupun mereka ingin sekali menangis, anak-anak Indonesia yang takut mengungkapkan pendapat karena selalu dianggap sok tau, anak-anak pemimpi yang meninggalkan mimpinya karena berbenturan dengan realitas dunia.

Sampai suatu titik, jiwa mereka berontak. Bagus kalau mereka sadar dan kembali ke jati diri mereka yang seharusnya. Tidak perlu berubah atau menguburnya, tapi hanya perlu mengontrolnya, tau menempatkan diri. Lain halnya dengan mereka yang menjadi sangat pahit, labil, tidak tenang sepanjang hidupnya. Mereka terjebak dalam pertempuran antara dirinya dan budaya sekitar. Bahkan sampai balas dendam atau bunuh diri, setidaknya ingin segera hidupnya berakhir.

 Berapa banyak manusia yang sadar dan tau cara menyeimbangkan dan mengontrolnya?

Berapa banyak manusia yang menjadi pahit dan pendendam?

Apakah kebebasan itu sebenarnya memang tidak ada?

Haruskah budaya itu ada?

Haruskah setiap orang mengalami proses tersebut?

Mungkinkah, budaya tetap ada, tetapi orang sekitar mendukung dan mengajari bagaimana harus mengontrolnya, sehingga tidak perlu melalui proses panjang sampai mencapai titik itu?

Love,
nurieen

No comments: